Banjir Vs Sawit

Banjir Vs Sawit. Memang benar dan tidak terbantahkan kalau banjir itu sebuah bencana. Namun, dibalik pengakuan itu tentu ada sebab-akibat sehingga banjir itu terjadi. Karena diakui atau tidak, terjadinya bencana banjir ada campur tangan manusia di dalamnya. Salah satu faktor penyebab terjadinya banjir adalah kegagalan tanah menyerap air. Akibat hujan yang berkepanjangan membuat debit air terus bertambah, sehingga tidak mampu tertampung oleh sungai dan saluran pembuangan yang ada, kemudian air meluap dan terjadilah banjir yang mengancam pemukiman warga. 

Lalu apa hubungannya banjir dengan sawit? tentu ada, dan sudah sepatutnya kelapa sawit dijadikan kambing hitam dibalik bencana banjir. Hal ini disebabkan sifat kelapa sawit yang tidak menyerap air hujan ketika terjadi musim penghujan, dan menyerap cadangan air bawah tanah ketika terjadi musim kemarau. 


Kelapa sawit merupakan tumbuhan monokotil (berakar serabut) sehingga air hujan yang melimpah tidak terserap ke dalam tanah dan hanya mengalir di daratan menuju aliran sungai, air yang mengalir tersebut akan membawa zat hara dan mengendap di dasar sungai. Akibatnya, tanah akan menjadi gersang dan sungai akan semakin dangkal. Dan bila musim kemarau, kelapa sawit akan menyerap cadangan air bawah tanah dengan jumlah yang besar untuk memenuhi kebutuhannya agar bisa bertahan hidup dan berbuah. Berbeda halnya dengan tumbuhan dikotil (berakar tunggal), tumbuhan ini akan menyerap air hujan ke dalam tanah dan menyimpannya diruang-ruang bawah tanah di dekat akar tunggalnya, dan bila musim kemarau tumbuhan dikotil akan melepaskan cadangan airnya sehingga sungai dan sumur-sumur yang ada disekitarnya tidak akan kekeringan.

Selain itu, kerakusan unsur hara dan air tanaman monokultur seperti sawit, dimana dalam satu hari satu batang pohon sawit bisa menyerap 12 liter (hasil peneliti lingkungan dari Universitas Riau) T. Ariful Amri MSc Pekanbaru/ Riau Online).   Di samping itu pertumbuhan kelapa sawit mesti dirangsang oleh berbagai macam zat fertilizer sejenis pestisida dan bahan kimia lainnya.


Kelapa sawit pertama kali diperkenalkan di Indonesia oleh pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1848. Ketika itu ada empat bibit kelapa sawit yang dibawa oleh Mauritius dari Amsterdam dan ditanam di Kebun Raya Bogor. Tanaman Kelapa Sawit mulai diusahakan dan dibudidayakan secara komersial pada tahun 1911 di Aceh dan Sumatera Utara oleh Adrien Hallet, seorang berkebangsaan Belgia. Luas kebun kelapa sawit terus bertambah dari tahun ke tahun. Perkebunan kelapa sawit pertama berlokasi di Pantai Timur Sumatera (Deli) dan Aceh. Luas areal perkebunannya mencapai 5.123 ha. Hingga tahun 2015 perkebunan sawit di Indonesia sudah mencapai 11,44 juta hektar, namun Aceh saat ini berada diposisi kesembilan luas perkebunan sawit tingkat nasional. Akan tetapi, dalam konteks Aceh ekspansi perkebunan sawit terus bertambah dan sudah mencapai pada angka 393.270 ha di tahun 2014 atau sekitar 39,43% penguasahaan lahan dari komoditas lainnya.

Dari jumlah tersebut, Kabupaten Nagan Raya menempati urutan pertama penguasaan lahan untuk perkebunan sawit seluas 82.252 ha (20,91%), kemudian disusul Kabupaten Aceh Timur 60.592 ha (15,41%), dan Kabupaten Aceh Singkil 55.441 ha (14,10%). Total produksi sawit di Aceh (2008 – 2013) sudah mencapai 10.939.270 ton, dan selama periode tersebut puncak kejayaan berada pada tahun 2012 dengan produksi 5.070.556 ton, atau 3.081.880 ton lebih besar dibandingkan total produksi pada tahun 2013 hanya 1.988.676 ton (BKM 2015).


Salah satu tujuan dari penyelenggaraan perkebunan adalah untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, dengan mengedepankan azas fungsi lingkungan hidup. Meskipun kemudian pencapaian tujuan tersebut tidaklah menjadi beban mutlak pada sektor perkebunan kelapa sawit semata, juga menjadi beban menyeluruh terhadap penyelenggaran perkebunan secara umum. Akan tetapi, untuk konteks Aceh pencapaian tujuan dimaksud harus menjadi fokus utama dari penyelenggaran perkebunan kelapa sawit. Kenapa? Karena secara penguasaan lahan, komoditas kelapa sawit menduduki peringkat pertama dalam sektor perkebunan di Aceh mencapai 39,43%. Dibandingkan dengan komoditas karet 15,29%, kopi 12,28%, kelapa 10,34%, kakou 10,34%, kemudian 7,04% untuk komoditas pala, kemiri, cengkeh, dan tebu. Walhi Aceh mencatat penguasaan ruang/kawasan untuk sektor perkebunan mencapai 1.195.528 ha, terdiri dari perkebunan besar 385.435 ha dan perkebunan rakyat 810.093 ha (Rekam Jejak Pengelolaan Lingkungan Hidup 2015).
 
kelapa sawit merupakan tumbuhan monokotil (berakar serabut) sehingga air hujan yang melimpah tidak terserap ke dalam tanah dan hanya mengalir di daratan menuju aliran sungai, air yang mengalir tersebut akan membawa zat hara dan mengendap di dasar sungai. Akibatnya, tanah akan menjadi gersang dan sungai akan semakin dangkal. Dan bila musim kemarau, kelapa sawit akan menyerap cadangan air bawah tanah dengan jumlah yang besar untuk memenuhi kebutuhannya agar bisa bertahan hidup dan berbuah. Berbeda halnya dengan tumbuhan dikotil (berakar tunggal), tumbuhan ini akan menyerap air hujan ke dalam tanah dan menyimpannya diruang-ruang bawah tanah di dekat akar tunggalnya, dan bila musim kemarau tumbuhan dikotil akan melepaskan cadangan airnya sehingga sungai dan sumur-sumur yang ada disekitarnya tidak akan kekeringan.

Dari fakta dan kondisi di Aceh, terjadinya bencana bajir di Aceh juga dipengaruhi oleh pembukaan perkebunan sawit. Meskipun belum menjadi faktor mutlak, namun kehadiran perkebunan sawit di Aceh menjadi bagian dari faktor penyebab bencana banjir. 

Disisi lain, kesadaran dan kepedulian masyarakat dalam menjaga lingkungan hidup juga harus menjadi perhatian serius semua pihak. Kenapa? karena dengan menjaga lingkungan hidup bencana banjir akan mampu diminimalisir. Tentu beban tersebut tidak sepenuhnya dipikul oleh rakyat, masih ada pemerintah sebagai pihak pertama yang bertanggungjawab dengan kondisi ini. Dukungan politik dan anggaran semestinya harus menjadi hal prioritas setiap tahunnya. Tidaknya terfokus pada program penanggulangan, akan tetapi prioritas anggaran pada aspek pencegahan. Pemerintah harus mencari akar masalah dari bencana banjir, jika kemudian terbukti secara fisik dan ilmiah perluasan perkebunan sawit sebagai tersangka utama, maka harus berani mengeluarkan kebijakan moratorium sawit. Namun, meskipun tanpa ada sebuah kajian ilmiah, dilihat dari sifat dan kenyataan dilapangan perkebunan kelapa sawit sudah semestinya disangkakan sebagai bagian penyebab terjadinya banjir.

Sudah saatnya pelaku perkebunan dimintakan pertanggungjawaban atau setidaknya mereka ikut berbagi peran dalam membantu korban, memperbaiki sarana publik yang rusak, atau merehab kembali rumah-rumah penduduk yang rusak akibat banjir.[]

Artikel terkait

Air "Nafas" Manusia

Pelaku Usaha Perkebunan Dilarang Alih Fungsi Kawasan

Penyebab Bencana Longsor

Penyebab Banjir

Merawat Air